Sudah menjadi tabiat manusia untuk selalu berdebat. Entah
itu untuk urusan yang memang harus di cari penyelesaiannya sehingga perdebatan
diperlukan atau hanya debat kusir yang tak tahu pangkal dan ujungnya. Yang
jelas, sudah menjadi sunatullah adanya perbedaan di muka bumi ini, begitu juga
perbedaan paradigma seseorang dalam melihat sesuatu. Semua itu pengaruh dari
intelektualitas, lingkungan serta filosofi hidup seseorang. Kalau sudah
begitu, akan berlaku hukum relatif tentang suatu, kecuali syari’at yang pokok
yang telah ditentukanNya.
Itu masalah Politik
yang kadang membuat hati, telinga dan mata panas melihatnya. Terus bagaimana
kalau beberapa kali orang memanggil saya “Abang atau Mas” karena nama saya Anis?. Apakah itu di sebut relatif juga karena merasa dilingkungannya atau orang yang
terkenal bernama anis (Anis Baswedan, Anis Matta) adalah seorang laki- laki.
Atau, bukan karena lingkungan orang tersebut menganggap saya laki- laki karena faktor nama, namun nama saya saja yang ambigu
sehingga mengaburkan pemaknaan seseorang terhadap gender?. Memang Anis sendiri
bisa di pakai nama laki-laki, sedangkan wanita nya anisa. Namun, tak sedikit
pula orang yang saya ketahui bernama anis adalah perempuan. Ada juga nama lain
akan di pertanyakan kelanjutannya perempuan atau laki-laki jika berdiri sendiri
seperti Eka, Dwi, dll. Karena nama tersebut juga ambigu bisa dipakai laki- laki
dan perempuan.
Itulah mengapa perbedaan yang ada dalam cara pandang sesuatu
bukan jadi alasan untuk berpecah belah, namun menjadi khasanah pengetahuan yang
saling melengkapi, meskipun kadang apa yang menjadi perbedaan itu masih ambigu.
sepakat nih dgn endingnya, sayang juga krn hanya krn perbedaan hrs terpecah belah
BalasHapusBtw, sdh baca imelku yg kukirim kemarin apa belum ya ? trims :)
Mbak Ely : trima kasih kunjungannya..sip mbak udah di baca :)
BalasHapus