Selayaknya berlayar, tak seorang pun ingin
bahtera yang di tumpanginya karam. Begitu juga sebuah rumah tangga, tidak ada
satupun yang menginginkan runtuh begitu saja apapun penyebabnya, sehingga pada akhirnya
kata perpisahan memjadi titik akhir kebersamaan. Karena bagaimanapun, ketika
berkomitmen untuk mengucapkan janji suci yang saksinya adalah penghuni langit
dan bumi, ikatan untuk hidup bersama dengan segala rintangannya telah
tertalikan sampai maut memisahkan. Namun, patut disadari dengan berjalannya
waktu konflik maupun ujian pernikahan adalah suatu keniscayaan. Banyak orang
yang melewati kerikil atau batu yang menghalangi perjalanan pernikahan dengan
mudah sehingga hadiah manis sebuah kemesraan pada pasangan semakin besar.
Tetapi ada beberapa orang yang telah sekuat tenaga mempertahankan biduk
pernikahannya namun tetap saja perceraian adalah jalan terbaik bagi mereka.
![]() |
Gambar dari sini |
Tidak mencari laki- laki sempurna sebagai
pendampingnya bagi kami adalah keputusan mbak fi yang besar. Seorang narbot
mushola dengan kekurangan fisik tak
menjadi halangan bagi mbak fi menyerahkan hidupnya untuk mengabdi sebagai
istri. Meskipun mbak Fi tahu konsekuensi dari keputusannya, yaitu ia akan
menjadi tulang punggung keluarga barunya serta sang ibu. Karena bagaimana pun
mbak Fi adalah anak satu-satunya. Sedangkan kekurangan fisik sang suami
menjadikannya tak bisa lebih keras bekerja, bahkan hanya sekedar menutupi
kebutuhan sehari- hari.
Tak selamanya perjuangan seorang istri, atau
tepatnya keikhlasannya akan berbalas manis pula dari sang suami. Dan,
demikianlah mbak Fi alami. Sang suami merasa seolah harga dirinya di depannya
istrinya tidak ada. Apalagi kondisi ibu mbak Fi yang sakit- sakitan memaksa
mbak Fi harus bolak balik merawat ibunya dan ke rumah orang tua sang suami yang
jaraknya cukup jauh dengan mengayuh ontel butut. Puncaknya ketika mbak Fi di
hadapkan oleh pilihan sang suami yaitu dengan terus mengikuti perintah nya
untuk tinggal di rumah suami atau merawat sang ibu. Seperti simalakama, dua hal
yang sangat berharga bagi mbak Fi. Dilain sisi ia tahu setelah menikah,
pengabdian wanita adalah pada suaminya yang lebih utama dari pada kedua orang
tuanya, sedangkan di lain sisi sebagai anak satu- satunya mbak Fi bertanggung
jawab terhadap sang ibu. Akhirnya ia memutuskan memilih sang ibu, karena
bagaimanapun yang sekarang membutuhkan dirinya adalah ibunya.
Setiap melihatnya saya punya seperti terisi
kembali rasa syukur untuk bisa mengabdi kepada suami tanpa harus menelan
pahitnya buah simalakama. Sebagai rasa terima kasih kepada mbak fi, kadang saya
membeli barang apa saja yang di jual walaupun saya tak membutuhkannya. Ya,
kadang kita perlu di “cubit” dengan realita kondisi orang lain di sekitar kita
sehingga dapat bersyukur terhadap hidup indah yang telah Allah berikan.
Berarti Mbak Fi akhirnya bercerai dengan suaminya itu, ya? Sungguh sebuah pilihan yang sangat berat.
BalasHapusHemmm....cerita yg mengharukan
BalasHapuslakinya juga gak mikir apa,, gak kasian ama ibu mertuanya
BalasHapuskacau..