Ada ekspektasi yang besar orang tua kepada anaknya bahkan
jauh sebelum sang anak ada. Ketika anak lahir, mengawali tersematnya sebuah
nama yang merupakan doa dari orang tua. Nama yang indah serta sebuah makna yang
baik menjadi ekspektasi orang tua terhadap anaknya akan menjadi serupa dengan
namanya. Namun anak bukanlah sebuah boneka yang sanggup diatur sesuai kehendak
orang tua, terlebih tentang cita- citanya. Dengan berjalannya waktu mereka akan
menemukan sebuah cita-cita yang ingin diwujudkan sendiri. Kadang cita- cita itu
malah berseberangan dengan ekspektasi orang tua terhadap anaknya.
Berawal dari lebaran tahun lalu saat kami sowan kepada
Kyai tempat suami dulu menimba ilmu. Saat kami berpamitan dengan penuh
ketulusan Sang Kyai mencium Wan dan berkata bahwa “Insyallah ini calon
professor”. Mungkin beliau mengucapkan kata profesor sebagai pilihan karena
cocok sekali denga dahi Wan yang lebar yang diidentikan dengan profesor dan
orang pintar. Saya anggap ucapan beliau adalah doa dan kami pun sebagai orang
tua turut mengamini . Sejak itulah kami sering memanggil Wan “profesor sholih”
di rumah. Bukan apa- apa sebenarnya, kami hanya menanamkan sugesti positif saja
kepada Wan sejak kecil. Sehingga ketika ditanya “kalo kalau besar Wan ingin
jadi apa?” dengan gaya cadelnya menjawab “pecol”.
Dengan berrjalannya wakttu, Wan pun telah mengenal
lingkungan yang lebih luas dan termasuk mengerti berbagai macam kendaranaan.
Terlebih saat bepergian, dia akan berteriak senang ketika menemukan truk yang berukuran
besar. Secara lokasi kami tinggal di jalur pantura sehingga dengan mudah
menemukan kendaraan berat yang beraneka ragam. Beserta itu, truk menjadi benda
yang paling menarik baginya. Setiap Wan menggambar yang bagi kami hanya berupa
coretan, Wan pun mengatakan bahwa itu merupakan truk. Jika berpakaian minta yang
gambar truk. Bahkan ketika sekarang ditanya besok mau jadi apa, jawapannya pun
juga “truk”. Jika kami mengingatkan bahwa menjadi professor maka Wan akan
berteriak “truk” yang berarti tak mau lagi profesor lagi.
Secara usia Wan yang masih hampir 2 tahun, saya yakin Wan
belum paham apa itu cita-cita dan profesor yang merupakan sesuatu yang belum
real baginya. Seperti kata Piaget bahwa usia Wan adalah usia realities bukan
imaginative. Dan yang yang nyata bagi Wan sekarang adalah sebuah benda besar
yang bisa bergerak cepat bernama truk yang membuatnya takjub. Tentu kami tak
mempermasalahkan itu. Karena bagaimanapun cita- cita akan bisa berubah dengan
berjalannya usia dan pengalaman yang dialami oleh anak.
Kemudian saya jadi membayangkan ketika Wan besar dan pada
akhirnya memiliki cita- cita yang berlawanan dengan ekspektasi saya sebagai orang
tua. Misalnya saja dalam memilih jurusan dikampus antara yang saya harapkan berbeda
dengan yang menjadi pilihannya. Bukan sesuatu yang mudah tentunya. Terlebih
jika sang orang tua dulunya mengidamkan memperoleh apa yang diharapkan kepada
anaknya tersebut dan jika sang anak mau sebenarnya ia bisa meraihnya. Namun
malah sang anak memilih jalan lain yang berbeda. Saya jadi ingat film 3 Idiot
yang salah satu ceritanya mengharapkan sang anak masuk sekolah teknik yang
nantinya bisa menjadi insinyur. Di sisi lain anaknya mencintai dunia lain yaitu
fotografi binatang. Memang awalnya terjadi pertentangan yang sengit hingga anak
terusir dari rumah, namun ketika orang tua sadar dan anak diberi kebebasan
untuk meraih cita- citanya pada akhirnya hasil yang terbaik yang diberikan sang
anak kepada orang tua.
Dari situ kita bisa mengambil kesimpulan, ada kalanya orang
tua harus mengubur ekspektasi yang besar pada sang anak, karena anak bukan
makhluk yang kita cipakan tapi amanah yang selanjudnya akan menjadi apa yang
diinginkannya. Bagaimanapun jika apa yang menjadi kecintaanya merupakan
cita-cita yang ingin diraihnya, sang anak akan dapat hasil maksimal dan akan
membuat bangga orang tua.
kalau aku sih gak pernah berharap terlalu tinggi , aku menyesuaikan dg kemampuan anak-anak dan keinginan anak-anak, jd anak gak terpaksa hanya krn nurutin keinginan anak saja. Waktu anak perempuanku mau masuk ips saja aaku bolehkan pdhl aku dan suamiku dulu anak ipa, tp ternyata dia enjoy di sana . sekarang dia amsuk jrusan bhs inggris dan enjoy , itu yg bikin aku bahagia ketika anak mersa bahagia dg pilihannya
BalasHapusBahagia seorang ibu itu jika anaknya bahagia ya Mbak
HapusPerlu banyak komunikasi antara anak dan orang tua
BalasHapus