Tradisi Kupatan Menjelang Ramadhan dan Setelah Lebaran Di Tuban

Tradisi Kupatan Menjelang Ramadhan dan Setelah Lebaran Di Tuban

Menjadi penghuni baru di suatu daerah mau tak mau harus beradaptasi dengan segala hal. Berinteraksi dengan tetangga dan lingkungan baru. Tak terkecuali adat istiadat yang berlaku, ibarat peribahasa “Dimana kaki berpijak di situlah langit di junjung”.   Terutama bagi yang hidup di desa dimana masyarakatnya masih kental hubungan kekeluargaan serta memegang teguh adat istiadat yang berlaku secara turun- turun. Mau tak mau belajar atau jika memungkinkan untuk turut serta melakukan adat istiadat yang berlaku. Seperti saat ini saya tinggal di Tuban, sebuah Kabupaten Kecil di jawa Timur memiliki banyak kearifan budaya lokal.


Orang jawa dikenal suka memadu- padankan sesuatu kemudian dijadikan sebagai nama,istialah atau adat yang berlaku. Seperti kupatan yaitu sebuah tradisi membuat kupat. Ketupat atau kupat berasal dari kata Kula = saya, Lepat = Salah. Jadi melalui kupat ini menunjukkan simbol bahwa pengakuan terhadap salah yang telah dilakukan. Kupat sendiri merupakan beras yang dibungkus daun kelapa muda/ janur yang kemudian di kukus dalam waktu lama. Di Tuban karena kontur alam berkapur sebagai pengganti janur menggunakan daun siwalan sebagai bungkusnya. 

 Baca juga : Rangkaian Tradisi Pernikahan Di Tuban
Biasanya kupat ditemani dengan semacam jajanan yang terbuat dari ketan dicampur dengan kelapa yang disebut dengan lepet. Lepet ini berasal dari dari disilep sing rapet. Jadi lepet ini menggambarkan kesalahan yang telah dilakukan sebaiknya ditutup yang rapat yaitu dengan mengkuburnya dalam- dalam. Tak mengherankan biasanya lepet ini dibungkus rapat dengan ditali seperti mengkafani orang mati.

Didesa saya di Kediri biasanya orang membuat kupat dan lepet setelah tujuh hari raya idul fitri. Maknanya setelah hari raya kupat dan lepet sebagai penyempurna permintaan maaf ketika lebaran Idul Fitri sekaligus sebagai penutut lebaran di hari ke tujuhnya. Biasanya kupat dan lepet ini akan diberikan kepada tetangga dan sanak keluarga sebagai simbol permintaan maaf. Selain kupat dan lepet biasanya disertai dengan lauk berupa sayur lodeh atau kadang juga opor ayam. Sebagai imbalan orang yang mengantarkan kupat dan lepet ke saudara akan mendapatkan uang sebagai ucapan terima kasih atas pemberiannya..

Beda Kediri beda pula dengan Tuban. Meskipun sama- sama di Jawa Timur tapi banyak adat istiadat yang berlaku berbeda. Di Tuban kupatan diadakan dua kali. Jadi seperti pada umumnya yaitu pada hari ke tujuh idul fitri dan juga pada malam nis’fu sya’ban. Yaitu lima belas hari sebelum bulan Ramadhan. Nisfu sya’ban merupakan pertengahan bulan Syaban. Maknanya pada Nisfu sya’ban buku catatan amal manusia akan ditutup. Dan sebelum ditutup masyarakat membersihkan dosanya dalam catatan amal dangan mengadakan permintaan maaf dan mengubur segala perbuatan salah dimasa lalu dengan adat kupatan dan lepetan. Sehingga ketika melaksanakan puasa Ramadhan dimana merupakan bulan suci umat islam tak ternoda lagi dengan dosa yang telah lalu sehingga bonus pahala Ramadhan didapatkan maksimal.

Berbeda pada kupatan idul fitri, pada nisyfu syaban, biasanya kupat hanya di bawa ke mushola atau masjid terdekat. Setelah di doakan maka akan dibawa pulang kembali untuk dinikmati atau diberikan kepada saudara.

Sebenarnya tradisi kupatan meskipun menyertai hari khusus umat islam bukanlah lah berasal dari ajaran Islam. Kupatan merupakn tradisi percampuran hindu jawa yang telah turun temurun dilakukan. Dan ketika islam masuk di Indonesia khususnya tanah jawa maka ajaran yang telah mengakar mengalami asimilasi dengan ajaran Islam dan terjadilah kupatan.


Tuban

3 Komentar untuk "Tradisi Kupatan Menjelang Ramadhan dan Setelah Lebaran Di Tuban"

  1. Dimana bumi dipijak, kita harus mengikuti tradisi yang berlaku di tempat itu ya mbak.... yang penting sesuai dengan syariat ISLAM.

    BalasHapus
  2. Mantap anak muda harus melestarikan kearifan lokal

    BalasHapus
  3. Tradisi kupatan ini bisa bertahan mungkin pendekatan ketika islam masuk tanpa membuang ajaran lama. Menarik sekali ketika tradisi bisa bertahan secara turun temurun.

    BalasHapus
Kebijakan Berkomentar di Blog Aniskhoir.com
  • Komentar harus sesuai dengan judul artikel.
  • Tidak diperbolehkan untuk mempromosikan barang atau berjualan.
  • Dilarang mencantumkan link aktif di komentar.
  • Komentar dengan link aktif akan otomatis dihapus
  • *Berkomentarlah dengan baik, Kepribadian Anda tercemin saat berkomentar.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel